1. Menulis Sebagai Proses
Penalaran
Menulis merupakan proses
bernalar. Untuk menulis mengenai suatu topik kita harus berpikir,
mcnghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan dan sebagainya. Dalam bab
ini akan dibahas aspek penalaran dalam karangan.
1.1 Berpikir dan Bernalar
Setiap saat selama hidup
kita, terutama dalam keadaan jaga (tidak tidur), kita selalu berpikir. Berpikir
merupakan kegiatan mental. Pada waktu kita berpikir, dalam benak kita timbul
serangkaian gambar tentang sesuatu yang tidak hadir secara nyata. Kegiatan ini
mungkin tidak terkendali, terjadi dengan sendirinya, tanpa kesadaran, misalnya
pada saat-saat kita melamun. Kegiatan berpikir yang lebih tinggi dilakukan
secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan, dan bertujuan
untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Jenis kegiatan berpikir vang terakhir
inilah yang disebut kegiatan bernalar.
Berdasarkan uraian di atas,
dapatlah dicatat bahwa proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan
proses berpikir yang sistematik untuk memperolch kesimpulan berupa pengetahuan.
Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya,
penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif.
Penalaran ilmiah mencakup kedua proses penalaran itu.
1.2 Penalaran lnduktif
Penalaran induktif adalah proses
penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum
berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut
induksi.
Penalaran induktif mungkin
merupakan generalisasi, analogi, atau hubungan sebab akibat.
Generalisasi adalah proses penalaran berdasarkan
pengamatan atas sejumlah
gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai sernua atau sebagian dari gejala
serupa itu. Di dalam analogi kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik
berdasarkan pengamatan terhadap sejurnlah gejala khusus yang bersamaan.
Hubungan sebab akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang
mengikuti pola sebab akibat, akibat-sebab, dan akibat-akibat,
Contoh:
Suatu lembaga kanker
di Amerika melakukan studi tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan
kematian. Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952 terdaftar 187.783 laki-laki
yang berumur antara 50 sampai 69 tahun. Kepada mereka dikemukakan
pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok mereka pada masa lalu dan masa
sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti terus-menerus selama 44 bulan.
Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis tentang penyebab kematiannya,
diperoleh data bahwa di antara 11.870 kematian yang dilaporkan 2.249 disebabkan
kanker.
Dari seluruh jumlah
kematian yang terjadi (baik pada yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka
kematian di kalangan pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak
pernah merokok, sedangkan jumlah kematian pengisap pipa dan cerutu tidak banyak
berbeda dengan jumlah kernatian yang tidak pernah merokok.
Selanjutnya, dari
data yang terkumpul itu terlihat adanya korelasi positif antara angka kematian
dan jumlah rokok yang diisap setiap hari .. .
..........................................................
Dari bukti-bukti yang
terkumpul dapatlah dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang
buruk dan memperpendek umur manusia. Cara yang paling sederhana untuk
menghindari kemungkinan itu ialah dengan tidak merokok sama sekali.
(Disarikan dari tulisan
Roger W. Holmes dalam Me Crimmon).
Tulisan di atas memaparkan
hubungan sebab akibat antara merokok dan kematian. Dari paparan itu dapat
dilihat bagaimana proses bernalar itu terjadi. Mula-mula mereka mengurnpulkan
data dari sejumlah orang laki-laki. Mereka itu dikelompokkan menurut kebiasaan
merokoknya, mulai dari yang tidak pernah merokok sampai pada perokok berat.
Selanjutnya perokok itu juga dibedakan antara yang menghisap rokok putih
(sigaret) dan yang menghisap cerutu dan pipa. Dalam waktu yang cukup panjang
mereka diarnati. Kematian dan penyebabnya dicatat dan dianalisis. Dari
bukti-bukti yang terkumpul ditariklah kesimpulan-kesimpulan sehubungan dengan
rnasalahnya.
Secara ringkas paparan di
atas menggambarkan proses penalaran induktif. Proses itu dilakukan langkah demi
langkah sehingga sampai pada kesimpulan.
1. 3 Penalaran Deduktif
Deduksi dimulai dengan suatu
premis yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya
merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya apa yang dikemukakan di dalam
kesimpulan secara tersirat telah ada di dalam pernyataan itu..
Jadi sebenarnya proses
deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan pernvataan
kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya. Sebagai contoh.
kesimpulan-kesimpulan berikut sebenarnya adalah implikasi permintaan “Bujur
sangkar adalah segi empat yang sama sisi”.
(1) Suatu segi empat
yang sisi-sisi horisontalnya tidak sama panjang dengan sisi tegak lurusnya bukan
bujur sangkar.
(2) Semua bujur
sangkar harus merupakan segi empat, tetapi tidak semua segi empat merupakan
bujur sangkar.
(3) Jurnlah sudut dalam
bujur sangkar ialah 360 derajat.
(4) Jika scbuah bujur
sangkar dibagi dua dengan garis diagonal akan terjadi dua segi tiga sama kaki.
(5) Segi tiga yang terbentuk
itu merupakan segi tiga siku-siku.
(6) Setiap segi tiga itu
mempunyai dua sudut lancip yang besarnya 45 derajat.
(7) Jumlah sudut dalam segi
tiga itu 180 derajat.
Setiap pernyataan yang
tercantum itu merupakan cara lain untuk meng-ungkapkan pernyataan di
atasnya secara konsisten. Pernyataan (2) merupakan implikasi pernyataan (1),
pernyataan (3) merupakan implikasi pernyataan (2), dan seterusnya. Di sinilah
letak perbedaannya dengan penalaran induktif. Dalam penalaran induktif
kesimpulan bukan merupakan implikasi data yang diamati; artinya, kesimpulan
mengenai fakta-fakta yang diamati tidak tersirat di dalam fakta itu sendiri.
Dalam praktek, proses
penulisan tidak dapat dipisahkan dari proses pemi-kiran/penalaran. Tulisan
adalah perwujudan hasil pemikiran/penalaran. Tulisan yang kacau mencerminkan
pemikiran yang kacau. Karena itu, latihan ke-terampilan menulis pada hakikatnva
adalah pembiasaan berpikir/bernalar secara tertib dalarn bahasa yang tertib
pula.
2. Penalaran dalam karangan
Dari uraian di atas dapatlah
disimpulkan bahwa suatu tulisan sebagai basil proses bernalar mungkin merupakan
basil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Dengan demikian suatu
paparan dapat bersifat deduktif, induktif, atau gabungan antara kedua sifat
tersebut. Suatu tulisan yang bersifat deduktif dibuka dengan suatu
pernyataan/umum berupa kaidah, peraturan, teori, atau pernyataan umum lainnya.
Selanjutnya, pernyataan itu akan dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan atau
rincian-rincian yang bersifat khusus. Sebaliknya, suatu tulisan yang bersifat
induktif dimulai dengan rincian-rincian dan diakhiri dengan suatu kesimpulan
umum atau generalisasi. Gabungan antara keduanya dimulai dengan pernyataan umum
yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup dengan pengulangan
pernyataan umum di atas.
Dalam praktek proses
deduktif dan induktif itu diwujudkan dalam satuan--satuan tulisan yang
merupakan paragraf. Di dalam paragraf suatu pernyataan umum membentuk kalimat
utama yang mengandung gagasan utama yang dikernbangkan dalarn paragraf itu.
Dengan demikian ada paragraf deduktif de-ngan kalimat utama pada awal paragraf,
paragraf induktif dengan kalimat utama pada akhir paragraf, dan ada pula paragraf
dengan kalimat utama pada awal dan akhirnya.
Proses deduktif dan induktif
itu juga diterapkan dalam mengembangkan seluruh karangan. Paragraf-paragrat
deduktif dan induktif mungkin dipergunakan secara bergantian, bergantung kepada
gaya yang dipilih penulis sesuai dengan efek dan tekanan yang ingin
diberikannya. Karya ilmiah merupakan sintesis antara proses deduktif dan
induktif, Kedua proses itu terlihat secara jelas.
Yang diuraikan di atas ialah
arah atau alur penalaran dan bagaimana per-wujudannya di dalam tulisan
atau karangan. Pada bagian berikut akan dibahas wujud penalaran dihubungkan
dengan urutan pengembangan dan isi karangan. Dalam hal ini, karena paragraf
pada hakikatnya merupakan suatu karangan mini maka contoh-contoh yang diberikan
sebagian besar berupa paragraf.
2.1 Urutan Logis
Suatu karangan harus
merupakan suatu kesatuan. Ini berarti bahwa ka-rangan itu harus dikembangkan
dalam urutan yang sistematik, jelas, dan tegas. Dalam hal ini, urutan itu dapat
disusun berdasarkan waktu, ruang, alur nalar, kepentingan, dan sebagainya.
1) Urutan Waktu (kronologis)
Kita perhatikan paragraf
berikut.
Dahulu sebelum cara
imunisasi ditemukan selarna puluhan abad, puluhan ribu penduduk dunia mati
akibat berbagai penyakit. Di Inggris saja sebelum ditemukan vaksin cacar,
kurang lebih delapan puluh ribu orang mati karena penyakit itu. Penemuan vaksin
sejak abad ke-18 sangat memperkecil angka kematian tersebut. Pada
tahun 1796 Jenner dari Inggris menemukan vaksin cacar. Lalu,
menyusullah penemuan vaksin rabies yang dikembangkan oleh Pasteur pada tahun
1885. 1iemodian menyusul pula pengembangan vaksin tit us pada tahun 1941. Selanjutnya,
pada tahun 1950 ditemukanlah vaksin-vaksin untuk mencegah k,urang lebih tiga
puluh macam penyakit yang menyerang binatang piaraan.
Pada
tahun 1955 di hadapan khalayak ramai yang berkumpul di Universitas Michigan
diumumkanlah hasil pengem-bangan dan percobaan vaksin polio. Meskipun demikian,
tak ada vaksin yang benar-benar telah sempurna, sehingga para ilmuwan masih
ditantang terus, baik untuk menyempurnakan vaksin-vaksin itu maupun untuk
mengembangkan cara-cara imunisasi.
Tulisan di atas dikembangkan
secara kronologis, artinya berdasarkan urutan waktu. Perhatikan kata-kata yang
digarisbawahi yang menunjukkan hubungan kronologis tersebut. Urutan kronologis
di dalam tulisan secara eksplisit dinyatakan dengan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
seperti: dewasa ini, sekarang, bila, sebelum, sementara, sejak itu,
selanjutnya, dalam pada itu, mula-mula, pertama, kedua, akhirnya, dan
sebagainya.
Pengembangan tulisan dengan
urutan kronologis biasanya dipergunakan dalam memaparkan sejarah, proses,
asal-usul, dan riwayat hidup (biografi).
2) Urutan Ruang (Spasial)
Urutan ini dipergunakan
untuk menyatakan tempat atau hubungan dengan ruang. Dalam pemakaiannva, urutan
ini sering juga digabungkan dengan urutan waktu.
Contoh:
Jika anda memasuki
pekarangan bangunan kuno itu, setelah anda melalui pintu gerbang kayu
penuh ukiran indah anda akan berada pada jalan berlantai batu hitam yang
membelah suatu lapangan rumput yang dihiasi petak bunga-bungaan dan
pohon-pohonan peneduh. Di kiri kanan jalan itu, agak ke tengah terdapat
lumbung padi, puncaknya berbentuk seperti tanduk dan beratapkan ijuk. Terus
ke dalam anda akan sampai pada bangunan rumah yang berdiri di atas
tiang dan terlindung oleh pohon-pohon palem yang tumbuh subur. Selanjutnya,
anda harus menaiki tangga untuk rnasuk ke rumah itu. Mula-mula anda
akan memasuki ruangan besar dengan dinding berukir. Ada
beberapa tulisan kuno yang suram pada dinding itu. Lantainya terbuat dari papan
jati yang kelihatan berkilat.
Kita lihat dalam tulisan di
atas urutan ruang dipergunakan bersama sama dengan urutan waktu.
Untuk menyatakan urutan
ruang itu antara lain kita dapat menggunakan ungkapan-ungkapan:
di sana, di sini, di situ,
di .... pada .
di bawah, di atas, di
tengah,
di utara, di selatan,
di depan, di belakang,
di kiri, di kanan,
berhadapan, bertolak
belakang, berseberangan, dan seterusnya.
3) Urutan Alur Penalaran
Berdasarkan alur
penalarannya, suatu paragraf dapat dikembangkan dalam urutan umum-khusus dan
khusus-umum. Urutan ini telah dibicarakan pada bagian terdahulu. Urutan ini
menghasilkan paragraf-deduktif dan induktit.
Urutan umum-khusus banyak
dipergunakan dalam karya ilmiah. Tulisan yang paragrat-paragrafnya dikembangkan
dalam urutan ini secara menyeluruh lebih mudah dipahami isinya. Dengan mcmbaca
kalimat-kalimat pertama pada paragraf-paragraf itu, pembaca dapat mcngetahui
garis besar isi scluruh karangan.
4) Urutan Kepentingan
Suatu karangan dapat
dikembangkan dengan urutan berdasarkan ke-pentingan gagasan yang dikemukakan.
Dalam hal ini arah pembicaraan ialah dari yang paling penting sampai kepada
yang paling tidak penting atau sebaliknya.
Contoh:
Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam menyusun hipo-tesis. Yang paling penting ialah
penyusunan kerangka pikir berdasarkan atas suatu teori yang dipergunakan
sebagai landasan deduksi. Kerangka pikir inilah yang akan menentukan apa
hipotesis yang diajukan mengenai hubungan variabel
yang dimasalahkan. Hal berikutnya yang tidak boleb diremebkan ialah aspek
bahasanya: suatu hipotesis harus dinyatakan dalarn kalimat pernyataan yang
merupakan proposisi. Tak kurang pentingnya ialah persyaratan bahwa hipotesis
harus dinyatakan sejelas-mungkin dan didukung oleh kalimat yang sesederhana
mungkin.
3. Isi Karangan
Karangan mungkin menyajikan
fakta (berupa benda, kejadian, gejala, sifat atau ciri sesuatu, dan
sebagainya), pendapat/sikap dan tanggapan, imajinasi, ramalan, dan sebagainya.
Karya ilmiah membahas fakta mcskipun untuk pem-bahasan itu diperlukan teori
atau pendapat. Dalam bagian ini akan dibahas hal-hal yang berhubungan dengan
fakta, yaitu generalisasi dan spesifikasi, klasifikasi, perbandingan dan
pertentangan, hubungan scbab akibat, analogi, dan ramalan. Pembahasan tentang
definisi dan hipotesis secara khusus akan dibahas kemudian.
1) Generalisasi dan
Spesifikasi
Pada bagian terdahulu
-secara sepintas telah disinggung penarikan kesirnpulan secara induktif. Dari
sejumlah fakta atau gejala khusus yang diamati ditarik kesimpulan umum tentang
sebagian atau seluruh gejala yang diamati itu. Proses penarikan kesimpulan yang
dilakukan dcngan cara itu disebutgenerali.arsi. K.csimpulan yang dihasilkan
disebut generalisasijuga, Jadi gcncralisasi adalah pernyataan yang berlaku umum
untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Karena itu suatu
generalisasi mencakup ciri-ciri esensial atau yang menonjol, bukan rincian. Di
dalam pengembangan karangan, generalisasi perlu ditunjang atau dibuktikan
dengan fak ta-fakta, contoh-contoh, data statistik, dan sebagainya yang
merupakan spesifikasi atau ciri khusus scbagai penjelasan lebih lanjut..
Contoh:
Dari hasil penelitian
Dr. Judith Rodin disimpulkan bahwa gula yang terdapat di dalam buab-buaban
yang disebut ftuktosa dapat menghilangkan rasa lapar, scdangkaa glukosa yang
biasauya terdapat dalam kue-kue dan permen menambah rasa lapar. Misalnya,
ketika tapi hanya sebentar saja karena energinya segera hilang. Hal ini
disebabkan oleh pankreas yang secara cepat mengeluarkan insulin ke dalam aliran
darah untuk.mengatasi naiknya kadar gula yang cepat tadi. Segera setelah itu
kadar gula darah anda akan menurun ke bawah normal. rMaka ccpatlah cnergi tadi
hilang dan anda akan merasa lebih lapar daripada sebclum sarapan.
(Dikutip dari Bola dengan
beberapa perubahan).
Pada contoh tadi bagian yang
dicetak miring merupakan generalisasi yang dikembangkan Judith Rodin
berdasarkan hasil penelitiannya. Generalisasi itu selanjutnya dijelaskan dengan
contoh yang dikemukakan dalam kalimat-kalimat bcrikutnva.
Pernyataan yang merupakan
generalisasi biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan:
biasanya, pada
umumnva, sebagian besar, semua, setiap, tidak pernah, selalu, secara
kescluruhan, pada galibnya, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam kalimat
yang merupakan penunjang generalisasi biasa-nya digunakan ungkapan-ungkapan:
misalnya, sebagai
contoh, sebagai ilustrasi, untuk menjelaskan hal itu, perlu dijelaskan, sebagai
bukti, buktinva, menurut data statistik, dan sebagainya.
Perlu diingat selalu bahwa
bukti-bukti atau rincian penunjang harus relevan dcngan generalisasi yang
dikemukakan. Suatu paragraf yang men-cantumkan penunjang yang tidak relevan
dipandang tidak logis.
Generalisasi mungkin
mengemukakan fakta (disebut generalisasi faktual) atau pendapat (opini).
Generalisasi faktual lebih mudah diyakini oleh pembaca daripada generalisasi yang
berupa pendapat atau penilaian (value judgement). Fakta mudah dibuktikan, mudah
diuji kebenarannya, sedangkan pendapat atau penilaian sulit dibuktikan dan
diuji. Perhatikan per- yataan-pernyataan berikut:
(1) a. Masalah kcpendudukan
merupakan masalah pokok yang dihadapi dunia.
b. Baginya masalah itu
terlalu remeh.
(2) a. Guru adalah tenaga
kependidikan.
b. Sudah selayaknva kalau
guru lebih hanvak disoroti masyarakat.
Dengan segera dapat kita
ketahui bahwa pernyataan-pernyataan a menge-mukakan fakta, sedangkan b
mengemukakan penilaian/pendapat.
Selanjutnya, generalisasi
dapat mengenai berbagai pokok pembicaraan, seperti sejarah, biografi, profesi,
sastra/seni, teknologi, bangsa, negara, dan sebagainya. Dalam paragraf
generalisasi itu dapat dilctakkan pada bagian awal atau akhir.
4. Fakta Sebagai Unsur Dasar
Penalaran Ilmiah
Sesuai dengan penjelasan di
atas penalaran memerlukan fakta sebagai, unsur dasarnya. Karena itu, agar dapat
menalar dengan tepat, perlu kita miliki pengetahuan tentang fakta yang
berhubungan.
Jumlah fakta tak terbatas;
sifatnya pun beraneka ragam. Banyak di antara fakta-fakta itu yang saling
berkaitan, baik secara fungsional maupun dalam hubungan sebab akibat. Hubungan
itu kadang-kadang sangat erat atau dalam suatu rangkaian yang rumit sehingga
sulit mengenalinya.
Untuk memahami hubungan
antara fakta-fakta yang sangat banyak itu, terlebih dahulu kita perlu mengenali
fakta-fakta itu secara sendiri-sendiri. Ini berarti bahwa kita harus mengetahui
ciri-cirinya dengan baik. Dengan mengenali ciri-ciri sejumlah fakta kita dapat
melihat perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan yang terdapat di antara
fakta-fakta itu. Dengan demikian, mungkin juga dapat dikenali hubungan yang
terdapat di antaranya. Pengenalan hubungan itu kerap kali sangat sulit,
sehingga kadang-kadang harus dilakukan melalui penelitian.
Tanpa mengingat ciri-cirinya
kita dapat menggolong-golongkan sejumlah fakta ke dalam bagian-bagian dengan
jumlah anggota yang sama banyaknya, Proses seperti itu disebut pembagian.
Sejenis pembagian yang lebih tinggi tarafnya ialah klasifikasi yang dibahas
dalam bagian berikut.
1) Klasifikasi
Membuat klasifikasi mengenai
sejumlah fakta, berarti memasukkan atau menempatkan fakta-fakta ke dalam
suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem. Dengan klasifikasi, fakta
ditempatkan di dalam suatu sistem kelas, sehingga dapat dikenali hubungannya
secara horizontal dan vertikal ke samping serta ke atas dan ke bawah.
Perhatikan bagan berikut :
Bangsa-bangsa
ASIA
Bangsa-bangsa di
Bangsa-bangsa di
Asia Daratan Asia Kepulauan
B. India B. Cina B. Birma
dst B. Indonesia B. Filifina B. Jepang
Suku Aceh Suku Minang Suku
Sunda Suku Jawa dst
Gambar
1
Dari bagan di atas, dapat
dilihat hubungan yang terdapat di dalam dan di antara setiap kelompok. Kalau
kita perhatikan bangsa Indonesia misalnya, kita dapat melihat hubungannya ke
samping dengan bangsa Filipina dan Jepang yang sama-sama merupakan bangsa Asia
yang hidup di Asia Kepulauan; ke bawah, kita lihat bangsa Indonesia
diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam suku-suku bangsa Aceh, Tapanuli, dan
seterusnya.
Prophyry,
seorang filsuf yang hidup pada abad ketiga membuat diagram hubungan untuk
klasifikasi rentang manusia.
Diagram tersebut dikenal sebagai pohon Prophyry.∗
”Pohon Prophyry”
Substansi
Berbadan
Tak Berbadan
Badan (Body)
Bernyawa TakBernyawa
Organisme
Sensitif TakSensitif
Hewan
Rasional Tak Rasional
Manusia
Socrates Plato Aristoteles dst
Gambar
2
Suatu klasifikasi akan berhenti, tidak
dapat diteruskan lagi, jika sudah sampai kepada individu yang tidak dapat
merupakan spesies atau jenis individu tidak dapat diklasifikasikan lebih lanjut
meskipun dapat dimasukkan ke dalam suatu spesies. Kita dapat mengatakan
misalnya, "Dani adalah manusia", tetapi tidak “Manusia adalah
Dani”, karena Dani adalah individu dan bersifat unik.
Suatu kelas (kelompok) dalam sistem
klasifikasi bukanlah sekedar merupakan jumlah individu anggota kelas tersebut.
Suatu kelas terbentuk berdasarkan ciri-ciri tertentu yang merupakan
kriterianya. Kita dapat menentukan kelas sesuatu bila kita mengetahui kriteria
tersebut. Misalnya ciri-ciri apa yang harus ada pada kelompok hewan agar dapat
dimasukkan ke dalam kelompok/kelas mamalia? Adanya tulang belakang? Jadi,
apakah burung dan reptilia juga mamalia? Hewan hanya dapat disebut mamalia jika
memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan ciri-ciri mamalia: berdarah panas,
bernapas dengan paru-paru, dan melahirkan (mempunyai plasenta). Sama
halnya dengan manusia. Suatu makhluk baru dapat dimasukkan ke dalam
kelas manusia bila merniliki ciri-ciri kemanusiaan, yaitu berakal budi.
Suatu kelas ditandai oleh ciri-ciri
tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota kelas tanpa kecuali. Dengan kata
lain, setiap anggota kelas harus memiliki semua ciri tersebut, sehingga dapat
dibedakan dari anggota kelas lainnya.
Perlu anda ingat bahwa klasifikasi atau
pengelompokan/penggolongar hcrbeda dengan pembagian. Pembagian lebih bersifat
kuantitatif, tanpa suatu kriteria atau ciri penentu. Misalnya, seratus orang
mahasiswa dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri dari dua puluh orang. Ini
merupakan pembagian. Tetapi jika pembagian itu didasarkan atas tinggi badan
atau fakultasnya, maka pembagian itu merupakan klasifikasi, yaitu berdasarkan tinggi
badan atau fakultas,
Dengan demikian, kelas yang terbentuk
akibat klasifikasi mungkin tidak sama besarnya. Ada kelas yang besar dan di
dalamnya terdapat sekelompok anggota yang memiliki ciri khusus tertentu, dan
kelompok lain yang mempunyai ciri khusus yang lain, Kelas tersebut dapat
dipecahkan ke dalam kelas bawahan berdasarkan ciri tadi.
2) Jenis Klasifikasi
Klasifikasi dapat merupakan klasifikasi
sederhana atau klasifikasi kompleks.
Di dalam klasifikasi sederhana suatu
kelas hanya mempunyai dua kelas bawahan yang berciri positif dan negatif.
Klasifikasi seperti itu disebut juga klasifikasi dikotomis (dichotomous
classification. dichotomy). Pohon Prophyry merupakan contoh dikotomi
seperti itu.
Di dalam klasifikasi kompleks, suatu
kelas mencakup lebih dari dua kelas bawahan. Dalam klasifikasi ini tidak bolch
ada ciri negatif; artinya, suatu kelas tidak dikelompokkan berdasarkan ada
tidaknya suatu ciri, melainkan berdasarkan suatu ciri positif. Misalnya, kelas
mamalia dibagi berdasarkan jenis makanannya menghasilkan kelas bawahan
karnivora, herbivora, dan omnivora.
3). Persyaratan Klasifikasi
Klasifikasi harus dilakukan dengan
memperhatikan beberapa persyaratan:
(1) Prinsipnya
harus jelas.
Prinsip ini merupakan dasar atau patokan untuk membuat klasifikasi, berupa ciri
yang menonjol yang dapat mencakup semua fakta atau benda/gejala yang
diklasifikasikan. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih. Perhatikan
contoh berikut:
Pendidikan : pendidikan formal
pendidikan jasmani
pendidikan pada zaman jepang
Bandingkan dengan
Pendidikan : pendidikan informal
pendidikan formal
pendidikan nonformal
Pada klasifikasi pertama terdapat
tumpang tindih. Pendidikan pada zaman Jepang mungkin merupakan pendidikan
formal dan pendidikan jasmani juga. Kalau kita mencoba menguraikan kembali ke
dalam contoh-contoh pendidikan berdasarkan klasifikasi tersebut kita akan
nr_masukkan jenis jenis pendidikan rang sama pada ketiga golongan itu.
(2) Klasifikasi harus logic
dan ajek (konsisten). Artinya, prinsip-prinsip itu harus diterapkan secara
menyeluruh kepada kelas bawahannya. Misalnya, jika seorang pustakawan
mengelompokkan buku-buku di perpustakaan berdasarkan bidang ilmu yang dibahas,
maka buku yang berisi pembahasan tentang perbankan akan dikelompokkan ke bagian
ilmu-ilmu sosial.
(3) Klasifikasi harus bersifat lengkap,
menyeluruh. Artinya, dasar pengelompokan yang dipergunakan harus dikenakan
kepada semua anggota kelompok tanpa kecuali. Misalnya, jika suatu kelas terdiri
dari 2000 mahasiswa dan akan diklasifikasikan berdasarkan umurnya, maka dasar
tersebut harus dikenakan kepada kedua ribu mahasiswa tadi. Tidak boleh terjadi
1500 mahasiswa diklasifikasikan berdasarkan umurnya, mengenai semua
atau.sebagian dari gejala serupa. Proses ini sering kali kita lakukan di
dalam kehidupan sehari-hari.
Secara tak sadar sering kita
membuat generalisasi tentang sifat golongan tertentu berdasarkan satu atau
beberapa orang anggota yang kita kenal. “Orang Jepang peramah”, “Orang jawa
tidak suka berterus terang”, dan sebagainya, adalah contoh-contoh generalisasi
yang sering kita dengar.
Sahkah kesimpulan seperti di atas ?
Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus mengetesnya:
(1) Cukup memadaikah
gejala-gejala khusus yang diamati sebagai dasar penarikan kesimpulan ?
Kekurangan jumlah gejala yang perlu diamati akan menimbulkan kekeliruan generalisasi
terlampau luas. Pernvataan seperti "Orang Jepang peramah" dan
''Orang Jawa tidak suka berterus terang" yang didasarkan atas satu atau
beberapa orang lepang dan orang Jawa yang kebetulan dikenal, adalah contoh
generalisasi terlalu luas.
(2) Apakah gejala yang diamati
cukup mewakili keseluruhan atau bagian yang dikenai generalisasi ?
Dengan kata lain, apakah sampel yang di amati betul-betul mewakili populasinya?
(3) Tidak adakah kekecualian dalam
kesimpulan umum yang ditarik ? Jika kekecualian terlalu banyak, maka tak
mungkin diambil generalisasi. Jika satu atau beberapa saja, kita masih dapat
membuat generalisasi. Dalam hal ini hindarilah kata-kata "setiap"
atau "semua". Pergunakan ungkapan “cenderung”, ’pada umumnya”,
”rata-rata”, ”pada mayoritas yang diamati", atau yang semacam itu.
Berikut ini tertera contohnya.
1. Kutipan
Dalam memilih jurusan IPA siswa
kelas satu (1) SMA Negeri Cikampek dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi,
budaya, tingkat pendidikan keluarga.
Siswa yang pernah ke kota besar
(kota kabupaten dan ibu kota RI) dan banyak bergaul dengan orang kota mudah menyerap
situasi baru tanpa "dianalisa". Ini menunjukkan kekurangan pengertian
lanjut dari siswa yang dapat dihubungkan dengan tempat tinggal siswa di daerah
yang 16
berbudaya desa. Ini terlihat
ketika siswa memilih jurusan IPA yang dianggap super. Dan karena situasi
lingkungan dengan tingkat pendidikan yang rata-rata di bawah SMA, siswa tidak
mengetahui tindak lanjut setelah memilih jurusan IPA.
Siswa yang berlatar belakang
budaya desa dan berlatar belakang budaya kota berbeda dalam motivasi dan
persiapan memilih jurusan IPA. Masyarakat berbudaya desa menerima mentah-mentah
pengaruh kota yang dianggap baik dalam rangka perubahan kebudayaan kota, tanpa
seleksi. Ini dibuktikan dengan anak yang ingin duduk di jurusan IPA atas
pengaruh orang kota yang ternyata tidak diikuti dengan prestasi belajar yang
baik, sehingga anak tidak terjuruskan ke jurusan IPA, yang artinya dijuruskan
ke jurusan HIS dan Bahasa.
Dikutip dengan perubahan dari Analisa
Pendidikan,
1982/1983
Kutipan di atas merupakan hasil
generalisasi berdasarkan suatu penelitian terhadap sekelompok siswa
kelas I SMA Negeri Cikampek. Generalisasi itu dikenakan kepada siswa kelas I
SMA Negeri Cikampek berdasarkan atas pengamatan terhadap sejumlah sampel.
2) A n a l o g i
Kita dapat membandingkan sesuatu dengan
lainnya berdasarkan atas persamaan yang terdapat di antara keduanva.
Kita mungkin menyebut suatu bau yang sedap sebagai “bau bunga melati atau bau
4711”. Perbandingan seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan
sesuatu yang baru berdasarkan persamaannya dengan sesuatu yang telah dikenal.
Hasilnva tidak memberikan kesimpulan atau pengetahuan yang baru. Perbandingan
demikian disebut analogi penjelas (deklaratif).
Analogi yang dimaksudkan di sini hukan
analogi penjelas seperti di atas, melainkan analogi induktif. Artinva, suatu proses
penalaran untuk menarik kesimpulan/referensi tentang kebenaran suatu
gejala khusus berdasarkan
kebenaran suatu gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat
esensial penting yang bersamaan. Dengan demikian, untuk mengemukakan suatu
analogi induktif, yang perlu diperhatikan ialah apakah persamaan yang dipakai
sebagai dasar kesimpulan benar-benar merupakan ciri-ciri esensial penting yang berhubungan
erat dengan kesimpulan yang dikemukakan. Sebagai contoh, misalnva
kesimpulan beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa anak kera dapat diberi makan
seperti anak manusia berdasarkan persamaan yang terdapat dl antara sistem
pencernaan anak kera dan anak manusia. Kesimpulan itu merupakan analogi
induktif yang sah, karena yang dipakai sebagai dasar kesimpulan (sistem
pencernaan) merupakan ciri esensial yang berhubungan erat dcngan kesimpulan
(cara memberi makan).
Contoh:
Bagaikan badai mengamuk,
memorakporandakan segala sesuatu yang ditemui. Rumah-rumah berantakan, pohon-pohon
bertumbangan tiada bersisa. Tinggallah akhirnva dataran yang luas dan sunyi
dengan puing-puing gedung dan pohon-pohon yang tumbang. Demikianlah penderitaan
telah membuatnva hancur luluh tanpa ampun. Rasanya tak ada lagi yang
tersisa, kecuali bagan yang hampa rasa, tanpa citra, cipta, dan karya.
Tulisan di atas merupakan contoh analogi
deklaratif. Dalam tulisan ini hebatnya penderitaan digambarkan sebagai badai
yang menghancur ratakan suatu daerah. Maksudnya tentu saja agar pembaca dapat
lebih menghayati bagaimana beratnya penderitaan yang dialami.
3) Hubungan Sebab Akibat
Menurut prinsip umum hubungan sebab
akibat, semua peristiwa harus ada penyebabnya. Dalam hal ini orang kerap kali
sampai pada kesimpulan yang salah karena proses penarikan kesimpulan tidak sah.
Contohnya, orang menghubungkan suatu wabah dengan kutukan dewa atau tempat
tertentu yang dianggap keramat. 18
Hubungan sebab akibat antara
peristiwa-peristiwa mungkin mengikuti pola dari sebab ke akibat, akibat ke
sebab, atau akibat ke akibat.
(1) Penalaran
dari sebab ke akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu sebab yang
diketahui. Berdasarkan pengamatan itu ditarik kesimpulan mengenai akibat yang
mungkin ditimbulkan.
(2) Penalaran
dari akibat ke sebab dimulai dari suatu akibat yang diketahui.
Berdasarkan akibat tersebut dipikirkan apa yang mungkin menjadi penyebabnya.
Penalaran dari akibat ke sebab
dipergunakan dalam penelitian expose facto, misalnya untuk menentukan
penyebab kematian/kecelakaan, dan lain-lain. Cerita-cerita detektif dan proses
peradilan merupakan contoh lain yang jelas untuk penalaran dan akibat ke sebab.
Kutipan berikut menggambarkan
hubungan sebab akibat dan dimulai dengan mengemukakan suatu peristiwa yang
merupakan akibat berbagai hal (disadur dari ocw.gunadarma.ac.id)
Selengkapnya...