Sunday 4 December 2011

ASPEK PENALARAN DALAM PARAGRAF


1. Menulis Sebagai Proses Penalaran
Menulis merupakan proses bernalar. Untuk menulis mengenai suatu topik kita harus berpikir, mcnghubung-hubungkan berbagai fakta, membandingkan dan sebagainya. Dalam bab ini akan dibahas aspek penalaran dalam karangan.
1.1 Berpikir dan Bernalar
Setiap saat selama hidup kita, terutama dalam keadaan jaga (tidak tidur), kita selalu berpikir. Berpikir merupakan kegiatan mental. Pada waktu kita berpikir, dalam benak kita timbul serangkaian gambar tentang sesuatu yang tidak hadir secara nyata. Kegiatan ini mungkin tidak terkendali, terjadi dengan sendirinya, tanpa kesadaran, misalnya pada saat-saat kita melamun. Kegiatan berpikir yang lebih tinggi dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan, dan bertujuan untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Jenis kegiatan berpikir vang terakhir inilah yang disebut kegiatan bernalar.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dicatat bahwa proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik untuk memperolch kesimpulan berupa pengetahuan. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua proses penalaran itu.
1.2 Penalaran lnduktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi.
Penalaran induktif mungkin merupakan generalisasi, analogi, atau hubungan sebab akibat. Generalisasi adalah proses penalaran berdasarkan 
pengamatan atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai sernua atau sebagian dari gejala serupa itu. Di dalam analogi kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala ditarik berdasarkan pengamatan terhadap sejurnlah gejala khusus yang bersamaan. Hubungan sebab akibat ialah hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab akibat, akibat-sebab, dan akibat-akibat,
Contoh:
Suatu lembaga kanker di Amerika melakukan studi tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan kematian. Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952 terdaftar 187.783 laki-laki yang berumur antara 50 sampai 69 tahun. Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok mereka pada masa lalu dan masa sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti terus-menerus selama 44 bulan. Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis tentang penyebab kematiannya, diperoleh data bahwa di antara 11.870 kematian yang dilaporkan 2.249 disebabkan kanker.
Dari seluruh jumlah kematian yang terjadi (baik pada yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka kematian di kalangan pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak pernah merokok, sedangkan jumlah kematian pengisap pipa dan cerutu tidak banyak berbeda dengan jumlah kernatian yang tidak pernah merokok.
Selanjutnya, dari data yang terkumpul itu terlihat adanya korelasi positif antara angka kematian dan jumlah rokok yang diisap setiap hari .. . ..........................................................
Dari bukti-bukti yang terkumpul dapatlah dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang buruk dan memperpendek umur manusia. Cara yang paling sederhana untuk menghindari kemungkinan itu ialah dengan tidak merokok sama sekali.
(Disarikan dari tulisan Roger W. Holmes dalam Me Crimmon).
Tulisan di atas memaparkan hubungan sebab akibat antara merokok dan kematian. Dari paparan itu dapat dilihat bagaimana proses bernalar itu terjadi. Mula-mula mereka mengurnpulkan data dari sejumlah orang laki-laki. Mereka itu dikelompokkan menurut kebiasaan merokoknya, mulai dari yang tidak pernah merokok sampai pada perokok berat. Selanjutnya perokok itu juga dibedakan antara yang menghisap rokok putih (sigaret) dan yang menghisap cerutu dan pipa. Dalam waktu yang cukup panjang mereka diarnati. Kematian dan penyebabnya dicatat dan dianalisis. Dari bukti-bukti yang terkumpul ditariklah kesimpulan-kesimpulan sehubungan dengan rnasalahnya.
Secara ringkas paparan di atas menggambarkan proses penalaran induktif. Proses itu dilakukan langkah demi langkah sehingga sampai pada kesimpulan.
1. 3 Penalaran Deduktif
Deduksi dimulai dengan suatu premis yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya apa yang dikemukakan di dalam kesimpulan secara tersirat telah ada di dalam pernyataan itu..
Jadi sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru, melainkan pernvataan kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya. Sebagai contoh. kesimpulan-kesimpulan berikut sebenarnya adalah implikasi permintaan “Bujur sangkar adalah segi empat yang sama sisi”.
(1) Suatu segi empat yang sisi-sisi horisontalnya tidak sama panjang dengan sisi tegak lurusnya bukan bujur sangkar.
(2) Semua bujur sangkar harus merupakan segi empat, tetapi tidak semua segi empat merupakan bujur sangkar.
(3) Jurnlah sudut dalam bujur sangkar ialah 360 derajat.
(4) Jika scbuah bujur sangkar dibagi dua dengan garis diagonal akan terjadi dua segi tiga sama kaki.
(5) Segi tiga yang terbentuk itu merupakan segi tiga siku-siku.
(6) Setiap segi tiga itu mempunyai dua sudut lancip yang besarnya 45 derajat.
(7) Jumlah sudut dalam segi tiga itu 180 derajat. 
Setiap pernyataan yang tercantum itu merupakan cara lain untuk meng-ungkapkan pernyataan di atasnya secara konsisten. Pernyataan (2) merupakan implikasi pernyataan (1), pernyataan (3) merupakan implikasi pernyataan (2), dan seterusnya. Di sinilah letak perbedaannya dengan penalaran induktif. Dalam penalaran induktif kesimpulan bukan merupakan implikasi data yang diamati; artinya, kesimpulan mengenai fakta-fakta yang diamati tidak tersirat di dalam fakta itu sendiri.
Dalam praktek, proses penulisan tidak dapat dipisahkan dari proses pemi-kiran/penalaran. Tulisan adalah perwujudan hasil pemikiran/penalaran. Tulisan yang kacau mencerminkan pemikiran yang kacau. Karena itu, latihan ke-terampilan menulis pada hakikatnva adalah pembiasaan berpikir/bernalar secara tertib dalarn bahasa yang tertib pula.
2. Penalaran dalam karangan
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa suatu tulisan sebagai basil proses bernalar mungkin merupakan basil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Dengan demikian suatu paparan dapat bersifat deduktif, induktif, atau gabungan antara kedua sifat tersebut. Suatu tulisan yang bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan/umum berupa kaidah, peraturan, teori, atau pernyataan umum lainnya. Selanjutnya, pernyataan itu akan dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan atau rincian-rincian yang bersifat khusus. Sebaliknya, suatu tulisan yang bersifat induktif dimulai dengan rincian-rincian dan diakhiri dengan suatu kesimpulan umum atau generalisasi. Gabungan antara keduanya dimulai dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup dengan pengulangan pernyataan umum di atas.
Dalam praktek proses deduktif dan induktif itu diwujudkan dalam satuan--satuan tulisan yang merupakan paragraf. Di dalam paragraf suatu pernyataan umum membentuk kalimat utama yang mengandung gagasan utama yang dikernbangkan dalarn paragraf itu. Dengan demikian ada paragraf deduktif de-ngan kalimat utama pada awal paragraf, paragraf induktif dengan kalimat utama pada akhir paragraf, dan ada pula paragraf dengan kalimat utama pada awal dan akhirnya.
Proses deduktif dan induktif itu juga diterapkan dalam mengembangkan seluruh karangan. Paragraf-paragrat deduktif dan induktif mungkin dipergunakan secara bergantian, bergantung kepada gaya yang dipilih penulis sesuai dengan efek dan tekanan yang ingin diberikannya. Karya ilmiah merupakan sintesis antara proses deduktif dan induktif, Kedua proses itu terlihat secara jelas.
Yang diuraikan di atas ialah arah atau alur penalaran dan bagaimana per-wujudannya di dalam tulisan atau karangan. Pada bagian berikut akan dibahas wujud penalaran dihubungkan dengan urutan pengembangan dan isi karangan. Dalam hal ini, karena paragraf pada hakikatnya merupakan suatu karangan mini maka contoh-contoh yang diberikan sebagian besar berupa paragraf.
2.1 Urutan Logis
Suatu karangan harus merupakan suatu kesatuan. Ini berarti bahwa ka-rangan itu harus dikembangkan dalam urutan yang sistematik, jelas, dan tegas. Dalam hal ini, urutan itu dapat disusun berdasarkan waktu, ruang, alur nalar, kepentingan, dan sebagainya.
1) Urutan Waktu (kronologis)
Kita perhatikan paragraf berikut.
           Dahulu sebelum cara imunisasi ditemukan selarna puluhan abad, puluhan ribu penduduk dunia mati akibat berbagai penyakit. Di Inggris saja sebelum ditemukan vaksin cacar, kurang lebih delapan puluh ribu orang mati karena penyakit itu. Penemuan vaksin sejak abad ke-18 sangat memperkecil angka kematian tersebut. Pada tahun 1796 Jenner dari Inggris menemukan vaksin cacar. Lalu, menyusullah penemuan vaksin rabies yang dikembangkan oleh Pasteur pada tahun 1885. 1iemodian menyusul pula pengembangan vaksin tit us pada tahun 1941. Selanjutnya, pada tahun 1950 ditemukanlah vaksin-vaksin untuk mencegah k,urang lebih tiga puluh macam penyakit yang menyerang binatang piaraan. 
          Pada tahun 1955 di hadapan khalayak ramai yang berkumpul di Universitas Michigan diumumkanlah hasil pengem-bangan dan percobaan vaksin polio. Meskipun demikian, tak ada vaksin yang benar-benar telah sempurna, sehingga para ilmuwan masih ditantang terus, baik untuk menyempurnakan vaksin-vaksin itu maupun untuk mengembangkan cara-cara imunisasi.
Tulisan di atas dikembangkan secara kronologis, artinya berdasarkan urutan waktu. Perhatikan kata-kata yang digarisbawahi yang menunjukkan hubungan kronologis tersebut. Urutan kronologis di dalam tulisan secara eksplisit dinyatakan dengan kata-kata atau ungkapan-ungkapan seperti: dewasa ini, sekarang, bila, sebelum, sementara, sejak itu, selanjutnya, dalam pada itu, mula-mula, pertama, kedua, akhirnya, dan sebagainya.
Pengembangan tulisan dengan urutan kronologis biasanya dipergunakan dalam memaparkan sejarah, proses, asal-usul, dan riwayat hidup (biografi).
2) Urutan Ruang (Spasial)
Urutan ini dipergunakan untuk menyatakan tempat atau hubungan dengan ruang. Dalam pemakaiannva, urutan ini sering juga digabungkan dengan urutan waktu.
Contoh:
Jika anda memasuki pekarangan bangunan kuno itu, setelah anda melalui pintu gerbang kayu penuh ukiran indah anda akan berada pada jalan berlantai batu hitam yang membelah suatu lapangan rumput yang dihiasi petak bunga-bungaan dan pohon-pohonan peneduh. Di kiri kanan jalan itu, agak ke tengah terdapat lumbung padi, puncaknya berbentuk seperti tanduk dan beratapkan ijuk. Terus ke dalam anda akan sampai pada bangunan rumah yang berdiri di atas tiang dan terlindung oleh pohon-pohon palem yang tumbuh subur. Selanjutnya, anda harus menaiki tangga untuk rnasuk ke rumah itu. Mula-mula anda akan memasuki ruangan besar dengan dinding berukir. Ada beberapa tulisan kuno yang suram pada dinding itu. Lantainya terbuat dari papan jati yang kelihatan berkilat.
Kita lihat dalam tulisan di atas urutan ruang dipergunakan bersama sama dengan urutan waktu.
Untuk menyatakan urutan ruang itu antara lain kita dapat menggunakan ungkapan-ungkapan:
di sana, di sini, di situ, di .... pada .
di bawah, di atas, di tengah,
di utara, di selatan,
di depan, di belakang,
di kiri, di kanan,
berhadapan, bertolak belakang, berseberangan, dan seterusnya.
3) Urutan Alur Penalaran
Berdasarkan alur penalarannya, suatu paragraf dapat dikembangkan dalam urutan umum-khusus dan khusus-umum. Urutan ini telah dibicarakan pada bagian terdahulu. Urutan ini menghasilkan paragraf-deduktif dan induktit.
Urutan umum-khusus banyak dipergunakan dalam karya ilmiah. Tulisan yang paragrat-paragrafnya dikembangkan dalam urutan ini secara menyeluruh lebih mudah dipahami isinya. Dengan mcmbaca kalimat-kalimat pertama pada paragraf-paragraf itu, pembaca dapat mcngetahui garis besar isi scluruh karangan.
4) Urutan Kepentingan
Suatu karangan dapat dikembangkan dengan urutan berdasarkan ke-pentingan gagasan yang dikemukakan. Dalam hal ini arah pembicaraan ialah dari yang paling penting sampai kepada yang paling tidak penting atau sebaliknya.
Contoh:
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun hipo-tesis. Yang paling penting ialah penyusunan kerangka pikir berdasarkan atas suatu teori yang dipergunakan sebagai landasan deduksi. Kerangka pikir inilah yang akan menentukan apa hipotesis yang diajukan mengenai hubungan variabel yang dimasalahkan. Hal berikutnya yang tidak boleb diremebkan ialah aspek bahasanya: suatu hipotesis harus dinyatakan dalarn kalimat pernyataan yang merupakan proposisi. Tak kurang pentingnya ialah persyaratan bahwa hipotesis harus dinyatakan sejelas-mungkin dan didukung oleh kalimat yang sesederhana mungkin.
3. Isi Karangan
Karangan mungkin menyajikan fakta (berupa benda, kejadian, gejala, sifat atau ciri sesuatu, dan sebagainya), pendapat/sikap dan tanggapan, imajinasi, ramalan, dan sebagainya. Karya ilmiah membahas fakta mcskipun untuk pem-bahasan itu diperlukan teori atau pendapat. Dalam bagian ini akan dibahas hal-hal yang berhubungan dengan fakta, yaitu generalisasi dan spesifikasi, klasifikasi, perbandingan dan pertentangan, hubungan scbab akibat, analogi, dan ramalan. Pembahasan tentang definisi dan hipotesis secara khusus akan dibahas kemudian.
1) Generalisasi dan Spesifikasi
Pada bagian terdahulu -secara sepintas telah disinggung penarikan kesirnpulan secara induktif. Dari sejumlah fakta atau gejala khusus yang diamati ditarik kesimpulan umum tentang sebagian atau seluruh gejala yang diamati itu. Proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dcngan cara itu disebutgenerali.arsi. K.csimpulan yang dihasilkan disebut generalisasijuga, Jadi gcncralisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Karena itu suatu generalisasi mencakup ciri-ciri esensial atau yang menonjol, bukan rincian. Di dalam pengembangan karangan, generalisasi perlu ditunjang atau dibuktikan dengan fak ta-fakta, contoh-contoh, data statistik, dan sebagainya yang merupakan spesifikasi atau ciri khusus scbagai penjelasan lebih lanjut..
Contoh:
Dari hasil penelitian Dr. Judith Rodin disimpulkan bahwa gula yang terdapat di dalam buab-buaban yang disebut ftuktosa dapat menghilangkan rasa lapar, scdangkaa glukosa yang biasauya terdapat dalam kue-kue dan permen menambah rasa lapar. Misalnya, ketika tapi hanya sebentar saja karena energinya segera hilang. Hal ini disebabkan oleh pankreas yang secara cepat mengeluarkan insulin ke dalam aliran darah untuk.mengatasi naiknya kadar gula yang cepat tadi. Segera setelah itu kadar gula darah anda akan menurun ke bawah normal. rMaka ccpatlah cnergi tadi hilang dan anda akan merasa lebih lapar daripada sebclum sarapan.
(Dikutip dari Bola dengan beberapa perubahan).
Pada contoh tadi bagian yang dicetak miring merupakan generalisasi yang dikembangkan Judith Rodin berdasarkan hasil penelitiannya. Generalisasi itu selanjutnya dijelaskan dengan contoh yang dikemukakan dalam kalimat-kalimat bcrikutnva.
Pernyataan yang merupakan generalisasi biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan:
biasanya, pada umumnva, sebagian besar, semua, setiap, tidak pernah, selalu, secara kescluruhan, pada galibnya, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam kalimat yang merupakan penunjang generalisasi biasa-nya digunakan ungkapan-ungkapan:
misalnya, sebagai contoh, sebagai ilustrasi, untuk menjelaskan hal itu, perlu dijelaskan, sebagai bukti, buktinva, menurut data statistik, dan sebagainya.
Perlu diingat selalu bahwa bukti-bukti atau rincian penunjang harus relevan dcngan generalisasi yang dikemukakan. Suatu paragraf yang men-cantumkan penunjang yang tidak relevan dipandang tidak logis.
Generalisasi mungkin mengemukakan fakta (disebut generalisasi faktual) atau pendapat (opini). Generalisasi faktual lebih mudah diyakini oleh pembaca daripada generalisasi yang berupa pendapat atau penilaian (value judgement). Fakta mudah dibuktikan, mudah diuji kebenarannya, sedangkan pendapat atau penilaian sulit dibuktikan dan diuji. Perhatikan per- yataan-pernyataan berikut:
(1) a. Masalah kcpendudukan merupakan masalah pokok yang dihadapi dunia.
     b. Baginya masalah itu terlalu remeh.
(2) a. Guru adalah tenaga kependidikan.
     b. Sudah selayaknva kalau guru lebih hanvak disoroti masyarakat.
Dengan segera dapat kita ketahui bahwa pernyataan-pernyataan a menge-mukakan fakta, sedangkan b mengemukakan penilaian/pendapat.
Selanjutnya, generalisasi dapat mengenai berbagai pokok pembicaraan, seperti sejarah, biografi, profesi, sastra/seni, teknologi, bangsa, negara, dan sebagainya. Dalam paragraf generalisasi itu dapat dilctakkan pada bagian awal atau akhir.
4. Fakta Sebagai Unsur Dasar Penalaran Ilmiah
Sesuai dengan penjelasan di atas penalaran memerlukan fakta sebagai, unsur dasarnya. Karena itu, agar dapat menalar dengan tepat, perlu kita miliki pengetahuan tentang fakta yang berhubungan.
Jumlah fakta tak terbatas; sifatnya pun beraneka ragam. Banyak di antara fakta-fakta itu yang saling berkaitan, baik secara fungsional maupun dalam hubungan sebab akibat. Hubungan itu kadang-kadang sangat erat atau dalam suatu rangkaian yang rumit sehingga sulit mengenalinya.
Untuk memahami hubungan antara fakta-fakta yang sangat banyak itu, terlebih dahulu kita perlu mengenali fakta-fakta itu secara sendiri-sendiri. Ini berarti bahwa kita harus mengetahui ciri-cirinya dengan baik. Dengan mengenali ciri-ciri sejumlah fakta kita dapat melihat perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan yang terdapat di antara fakta-fakta itu. Dengan demikian, mungkin juga dapat dikenali hubungan yang terdapat di antaranya. Pengenalan hubungan itu kerap kali sangat sulit, sehingga kadang-kadang harus dilakukan melalui penelitian.
 Tanpa mengingat ciri-cirinya kita dapat menggolong-golongkan sejumlah fakta ke dalam bagian-bagian dengan jumlah anggota yang sama banyaknya, Proses seperti itu disebut pembagian. Sejenis pembagian yang lebih tinggi tarafnya ialah klasifikasi yang dibahas dalam bagian berikut.
1) Klasifikasi
Membuat klasifikasi mengenai sejumlah fakta, berarti memasukkan atau menempatkan fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem. Dengan klasifikasi, fakta ditempatkan di dalam suatu sistem kelas, sehingga dapat dikenali hubungannya secara horizontal dan vertikal ke samping serta ke atas dan ke bawah.
Perhatikan bagan berikut :
Bangsa-bangsa ASIA
Bangsa-bangsa di Bangsa-bangsa di
Asia Daratan Asia Kepulauan
B. India B. Cina B. Birma dst B. Indonesia B. Filifina B. Jepang
Suku Aceh Suku Minang Suku Sunda Suku Jawa dst
Gambar 1
Dari bagan di atas, dapat dilihat hubungan yang terdapat di dalam dan di antara setiap kelompok. Kalau kita perhatikan bangsa Indonesia misalnya, kita dapat melihat hubungannya ke samping dengan bangsa Filipina dan Jepang yang sama-sama merupakan bangsa Asia yang hidup di Asia Kepulauan; ke bawah, kita lihat bangsa Indonesia diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam suku-suku bangsa Aceh, Tapanuli, dan seterusnya. 

Prophyry, seorang filsuf yang hidup pada abad ketiga membuat diagram hubungan untuk klasifikasi rentang manusia. 
Diagram tersebut dikenal sebagai pohon Prophyry. 
”Pohon Prophyry”
Substansi
Berbadan Tak Berbadan
Badan (Body)
Bernyawa TakBernyawa
Organisme
Sensitif TakSensitif
Hewan
Rasional Tak Rasional
Manusia
Socrates Plato Aristoteles dst
Gambar 2
Suatu klasifikasi akan berhenti, tidak dapat diteruskan lagi, jika sudah sampai kepada individu yang tidak dapat merupakan spesies atau jenis individu tidak dapat diklasifikasikan lebih lanjut meskipun dapat dimasukkan ke dalam suatu spesies. Kita dapat mengatakan misalnya, "Dani adalah manusia", tetapi tidak “Manusia adalah Dani”, karena Dani adalah individu dan bersifat unik.
Suatu kelas (kelompok) dalam sistem klasifikasi bukanlah sekedar merupakan jumlah individu anggota kelas tersebut. Suatu kelas terbentuk berdasarkan ciri-ciri tertentu yang merupakan kriterianya. Kita dapat menentukan kelas sesuatu bila kita mengetahui kriteria tersebut. Misalnya ciri-ciri apa yang harus ada pada kelompok hewan agar dapat dimasukkan ke dalam kelompok/kelas mamalia? Adanya tulang belakang? Jadi, apakah burung dan reptilia juga mamalia? Hewan hanya dapat disebut mamalia jika memiliki ciri-ciri khusus yang sesuai dengan ciri-ciri mamalia: berdarah panas, bernapas dengan paru-paru, dan melahirkan (mempunyai plasenta). Sama halnya dengan manusia. Suatu makhluk baru dapat dimasukkan ke dalam kelas manusia bila merniliki ciri-ciri kemanusiaan, yaitu berakal budi.
Suatu kelas ditandai oleh ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota kelas tanpa kecuali. Dengan kata lain, setiap anggota kelas harus memiliki semua ciri tersebut, sehingga dapat dibedakan dari anggota kelas lainnya.
Perlu anda ingat bahwa klasifikasi atau pengelompokan/penggolongar hcrbeda dengan pembagian. Pembagian lebih bersifat kuantitatif, tanpa suatu kriteria atau ciri penentu. Misalnya, seratus orang mahasiswa dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri dari dua puluh orang. Ini merupakan pembagian. Tetapi jika pembagian itu didasarkan atas tinggi badan atau fakultasnya, maka pembagian itu merupakan klasifikasi, yaitu berdasarkan tinggi badan atau fakultas,
Dengan demikian, kelas yang terbentuk akibat klasifikasi mungkin tidak sama besarnya. Ada kelas yang besar dan di dalamnya terdapat sekelompok anggota yang memiliki ciri khusus tertentu, dan kelompok lain yang mempunyai ciri khusus yang lain, Kelas tersebut dapat dipecahkan ke dalam kelas bawahan berdasarkan ciri tadi.
2) Jenis Klasifikasi
Klasifikasi dapat merupakan klasifikasi sederhana atau klasifikasi kompleks.
Di dalam klasifikasi sederhana suatu kelas hanya mempunyai dua kelas bawahan yang berciri positif dan negatif. Klasifikasi seperti itu disebut juga klasifikasi dikotomis (dichotomous classification. dichotomy). Pohon Prophyry merupakan contoh dikotomi seperti itu.
Di dalam klasifikasi kompleks, suatu kelas mencakup lebih dari dua kelas bawahan. Dalam klasifikasi ini tidak bolch ada ciri negatif; artinya, suatu kelas tidak dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya suatu ciri, melainkan berdasarkan suatu ciri positif. Misalnya, kelas mamalia dibagi berdasarkan jenis makanannya menghasilkan kelas bawahan karnivora, herbivora, dan omnivora. 

3). Persyaratan Klasifikasi
Klasifikasi harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan:
(1) Prinsipnya harus jelas. Prinsip ini merupakan dasar atau patokan untuk membuat klasifikasi, berupa ciri yang menonjol yang dapat mencakup semua fakta atau benda/gejala yang diklasifikasikan. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih. Perhatikan contoh berikut:
Pendidikan : pendidikan formal
pendidikan jasmani
pendidikan pada zaman jepang
Bandingkan dengan
Pendidikan : pendidikan informal
pendidikan formal
pendidikan nonformal
Pada klasifikasi pertama terdapat tumpang tindih. Pendidikan pada zaman Jepang mungkin merupakan pendidikan formal dan pendidikan jasmani juga. Kalau kita mencoba menguraikan kembali ke dalam contoh-contoh pendidikan berdasarkan klasifikasi tersebut kita akan nr_masukkan jenis jenis pendidikan rang sama pada ketiga golongan itu.
(2) Klasifikasi harus logic dan ajek (konsisten). Artinya, prinsip-prinsip itu harus diterapkan secara menyeluruh kepada kelas bawahannya. Misalnya, jika seorang pustakawan mengelompokkan buku-buku di perpustakaan berdasarkan bidang ilmu yang dibahas, maka buku yang berisi pembahasan tentang perbankan akan dikelompokkan ke bagian ilmu-ilmu sosial.
(3) Klasifikasi harus bersifat lengkap, menyeluruh. Artinya, dasar pengelompokan yang dipergunakan harus dikenakan kepada semua anggota kelompok tanpa kecuali. Misalnya, jika suatu kelas terdiri dari 2000 mahasiswa dan akan diklasifikasikan berdasarkan umurnya, maka dasar tersebut harus dikenakan kepada kedua ribu mahasiswa tadi. Tidak boleh terjadi 1500 mahasiswa diklasifikasikan berdasarkan umurnya, mengenai semua atau.sebagian dari gejala serupa. Proses ini sering kali kita lakukan di dalam kehidupan sehari-hari. 

Secara tak sadar sering kita membuat generalisasi tentang sifat golongan tertentu berdasarkan satu atau beberapa orang anggota yang kita kenal. “Orang Jepang peramah”, “Orang jawa tidak suka berterus terang”, dan sebagainya, adalah contoh-contoh generalisasi yang sering kita dengar.
Sahkah kesimpulan seperti di atas ? Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus mengetesnya:
(1) Cukup memadaikah gejala-gejala khusus yang diamati sebagai dasar penarikan kesimpulan ? Kekurangan jumlah gejala yang perlu diamati akan menimbulkan kekeliruan generalisasi terlampau luas. Pernvataan seperti "Orang Jepang peramah" dan ''Orang Jawa tidak suka berterus terang" yang didasarkan atas satu atau beberapa orang lepang dan orang Jawa yang kebetulan dikenal, adalah contoh generalisasi terlalu luas.
(2) Apakah gejala yang diamati cukup mewakili keseluruhan atau bagian yang dikenai generalisasi ? Dengan kata lain, apakah sampel yang di amati betul-betul mewakili populasinya?
(3) Tidak adakah kekecualian dalam kesimpulan umum yang ditarik ? Jika kekecualian terlalu banyak, maka tak mungkin diambil generalisasi. Jika satu atau beberapa saja, kita masih dapat membuat generalisasi. Dalam hal ini hindarilah kata-kata "setiap" atau "semua". Pergunakan ungkapan “cenderung”, ’pada umumnya”, ”rata-rata”, ”pada mayoritas yang diamati", atau yang semacam itu.
Berikut ini tertera contohnya.
1. Kutipan
Dalam memilih jurusan IPA siswa kelas satu (1) SMA Negeri Cikampek dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, tingkat pendidikan keluarga.
Siswa yang pernah ke kota besar (kota kabupaten dan ibu kota RI) dan banyak bergaul dengan orang kota mudah menyerap situasi baru tanpa "dianalisa". Ini menunjukkan kekurangan pengertian lanjut dari siswa yang dapat dihubungkan dengan tempat tinggal siswa di daerah yang 16

berbudaya desa. Ini terlihat ketika siswa memilih jurusan IPA yang dianggap super. Dan karena situasi lingkungan dengan tingkat pendidikan yang rata-rata di bawah SMA, siswa tidak mengetahui tindak lanjut setelah memilih jurusan IPA.
Siswa yang berlatar belakang budaya desa dan berlatar belakang budaya kota berbeda dalam motivasi dan persiapan memilih jurusan IPA. Masyarakat berbudaya desa menerima mentah-mentah pengaruh kota yang dianggap baik dalam rangka perubahan kebudayaan kota, tanpa seleksi. Ini dibuktikan dengan anak yang ingin duduk di jurusan IPA atas pengaruh orang kota yang ternyata tidak diikuti dengan prestasi belajar yang baik, sehingga anak tidak terjuruskan ke jurusan IPA, yang artinya dijuruskan ke jurusan HIS dan Bahasa.
Dikutip dengan perubahan dari Analisa Pendidikan,
1982/1983
Kutipan di atas merupakan hasil generalisasi berdasarkan suatu penelitian terhadap sekelompok siswa kelas I SMA Negeri Cikampek. Generalisasi itu dikenakan kepada siswa kelas I SMA Negeri Cikampek berdasarkan atas pengamatan terhadap sejumlah sampel.
2) A n a l o g i
Kita dapat membandingkan sesuatu dengan lainnya berdasarkan atas persamaan yang terdapat di antara keduanva. Kita mungkin menyebut suatu bau yang sedap sebagai “bau bunga melati atau bau 4711”. Perbandingan seperti itu dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu yang baru berdasarkan persamaannya dengan sesuatu yang telah dikenal. Hasilnva tidak memberikan kesimpulan atau pengetahuan yang baru. Perbandingan demikian disebut analogi penjelas (deklaratif).
Analogi yang dimaksudkan di sini hukan analogi penjelas seperti di atas, melainkan analogi induktif. Artinva, suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan/referensi tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan
kebenaran suatu gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat esensial penting yang bersamaan. Dengan demikian, untuk mengemukakan suatu analogi induktif, yang perlu diperhatikan ialah apakah persamaan yang dipakai sebagai dasar kesimpulan benar-benar merupakan ciri-ciri esensial penting yang berhubungan erat dengan kesimpulan yang dikemukakan. Sebagai contoh, misalnva kesimpulan beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa anak kera dapat diberi makan seperti anak manusia berdasarkan persamaan yang terdapat dl antara sistem pencernaan anak kera dan anak manusia. Kesimpulan itu merupakan analogi induktif yang sah, karena yang dipakai sebagai dasar kesimpulan (sistem pencernaan) merupakan ciri esensial yang berhubungan erat dcngan kesimpulan (cara memberi makan).
Contoh:
Bagaikan badai mengamuk, memorakporandakan segala sesuatu yang ditemui. Rumah-rumah berantakan, pohon-pohon bertumbangan tiada bersisa. Tinggallah akhirnva dataran yang luas dan sunyi dengan puing-puing gedung dan pohon-pohon yang tumbang. Demikianlah penderitaan telah membuatnva hancur luluh tanpa ampun. Rasanya tak ada lagi yang tersisa, kecuali bagan yang hampa rasa, tanpa citra, cipta, dan karya.
Tulisan di atas merupakan contoh analogi deklaratif. Dalam tulisan ini hebatnya penderitaan digambarkan sebagai badai yang menghancur ratakan suatu daerah. Maksudnya tentu saja agar pembaca dapat lebih menghayati bagaimana beratnya penderitaan yang dialami.
3) Hubungan Sebab Akibat
Menurut prinsip umum hubungan sebab akibat, semua peristiwa harus ada penyebabnya. Dalam hal ini orang kerap kali sampai pada kesimpulan yang salah karena proses penarikan kesimpulan tidak sah. Contohnya, orang menghubungkan suatu wabah dengan kutukan dewa atau tempat tertentu yang dianggap keramat. 18

Hubungan sebab akibat antara peristiwa-peristiwa mungkin mengikuti pola dari sebab ke akibat, akibat ke sebab, atau akibat ke akibat.
(1) Penalaran dari sebab ke akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu sebab yang diketahui. Berdasarkan pengamatan itu ditarik kesimpulan mengenai akibat yang mungkin ditimbulkan.
(2) Penalaran dari akibat ke sebab dimulai dari suatu akibat yang diketahui. Berdasarkan akibat tersebut dipikirkan apa yang mungkin menjadi penyebabnya.
Penalaran dari akibat ke sebab dipergunakan dalam penelitian expose facto, misalnya untuk menentukan penyebab kematian/kecelakaan, dan lain-lain. Cerita-cerita detektif dan proses peradilan merupakan contoh lain yang jelas untuk penalaran dan akibat ke sebab.
Kutipan berikut menggambarkan hubungan sebab akibat dan dimulai dengan mengemukakan suatu peristiwa yang merupakan akibat berbagai hal (disadur dari ocw.gunadarma.ac.id)
Selengkapnya...