Wanprestasi Menurut Hukum Perdata
Wanprestasi dapat diartikan sebagai
tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan
atau kelalaian. Menurut J Satrio,
wanprestasi adalah suatu keadaan di mana
debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya. Yahya Harahap mendefinisikan
wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak
debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau
dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat
menuntut pembatalan perjanjian. Sebagaimana tertulis dalam keputusan Mahkamah
Agung tangal 21 Mei 1973 No. 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang
dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli. (baca: Yurisprudensi, 1974).
Ruang Lingkup Wanprestasi dalam KUH Perdata
1. Bentuk-bentuk wanprestasi:
a.
Debitur tidak
melaksanakan prestasi sama sekali
b.
Debitur
berprestasi tetapi tidak tepat waktu
c.
Debitur
berprestasi tetapi tidak baik
2. Tata cara menyatakan debitur
wanprestasi:
a.
Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara
resmi melalui Pengadilan Negeri.
b.
Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
3. Isi Peringatan:
a.
Teguran
kreditur supaya debitur segera melaksanakan
prestasi
b.
Dasar
teguran
4. Akibat Hukum bagi Debitur
yang Wanprestasi:
a.
Pemenuhan/pembatalan
prestasi
b.
Pemenuhan/pembatalan
prestasi dan ganti rugi
c.
Ganti rugi
5. Bentuk Khusus
Wanprestasi:
a.
Dalam suatu
perjanjian jual beli, salah satu kewajiban Penjual menanggung adanya cacat
tersembunyi, jika ini tidak terpenuhi berarti prestasi tidak terlaksana.
b.
Cacat
tersembunyi merupakan bentuk wanprestasi khusus karena akibat wanprestasi ini
berbeda dengan wanprestasi biasa.
6. Akibat
Wanprestasi bentuk khusus:
a.
Actio redhibitoria : Barang dan uang kembali
b.
Actio quantiminoris : Barang tetap dibeli, tetapi ada pengurangan harga
Wanperstasi menurut Hukum Islam
Bilamana
akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak
dilaksanakan isinya oleh deitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana
mestinya (ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur. Kesalahan
dalam fikih disebut at-ta’addi, yaitu suatu sikap (berbuat atau tidak
berbuat) yang tidak diizinkan oleh syarak. Artinya suatu sikap yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban. Wanprestasi dalam hukum Islam secara
secara komprehensif dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai konsep
ganti-rugi menurut hukum islam yang dikutip dari Asmuni Mth. dalam Teori
Ganti rugi (dhaman) Perspektif Hukum Islam.
Ganti Rugi Perdata Perspektif Hukum Positif
Menurut pasal 1243 KUH Perdata,
pengertian ganti rugi perdata lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena
tidak terpenubinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti
kerugian kreditir akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:
- Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.
- Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur.
- Bunga atau keuntungan yang diharapkan.
Ganti
Rugi Pidana Perspektif Hukum Positif
Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang
dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan
kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah
dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang
akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau
keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana
tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih
berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti
ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. Pada masa ini
terlihat, sanksi Ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi pelaku
tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak
hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam
hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian
masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.
Konsep Ganti Rugi Menurutu Hukum Perdata dan Hukum Islam
Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Perdata:
Menururut ketentuan pasal 1243
KUHPdt, ganti kerugian karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang
harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Yang
dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib
diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya
Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat
kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur
dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke
stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana
termaktub dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
1.
Ongkos atau
biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya
iklan.
2.
Kerugian karena
Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya
busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, amburuknya rumah karena
kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
3.
Bunga atau
keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang
terlambat diserahkan (dilunasi),
keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam
ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur tersebut harus ada. yang ada
mungkin kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau
biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Dengan demikian untuk menghindari
tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan
batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari
kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:
- Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
- Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
- Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
Konsep Ganti Rugi menurut Hukum Islam
Menururt
Asmuni Mth
dalam tulisannya, Teori Ganti Rugi (Dhaman) Perspektif Hukum Islam,
menyebutkan secara gamblang sebagai berikut:
“Ide Ganti rugi terhadap korban perdata maupun pidana, sejak awal sudah
disebutkan oleh nas al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Dari nas-nas tersebut para
ulama merumuskan berbagai kaidah fiqh yang berhubungan dengan dhaman atau ganti
rugi. Memang diakui sejak awal, para fuqaha tidak menggunakan istilah masuliyah
madaniyah sebagai sebutan tanggung jawab perdata, dan juga masuliyah
al-jina’iyah untuk sebutan tanggung jawab pidana. Namun demikian sejumlah
pemikir hukum Islam klasik terutama al-Qurafi dan al-‘Iz Ibn Abdi Salam
memperkenalkan istilah al-jawabir untuk sebutan ganti rugi perdata
(baca:dhaman), dan al-zawajir untuk sebutan ganti rugi pidana (baca: ‘uqubah
diyat, arusy dan lain-lain).Walaupun dalam perkembangannya kemudian terutama
era kekinian para fuqaha’ sering menggunakan istilah masuliyah yang tidak lain
merupakan pengaruh dari karya-karya tentang hukum Barat. Dhaman dapat terjadi karena
penyimpangan terhadap akad dan disebut dhaman al-aqdi, dan dapat pula terjadi
akibat pelanggran yang disebut dhaman ‘udwan. Di dalam menetapkan ganti rugi
unsur-unsur yang paling penting adalah darar atau kerugian pada korban. Darar
dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa dan juga kerusakan yang
bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan darar adabi termasuk di
dalamnya pencemaran nama baik. Tolok ukur ganti rugi baik kualitas maupun
kuantitas sepadan dengan darar yang diderita pihak korban, walaupun dalam
kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan sesuai dengat
kondisi pelaku”.
Berbeda halnya dengan Syamsul Anwar,
konsep ganti-rugi dalam hukum Islam lebih menitikberatkan pada hak dan
kewajiban antara pihak debitur dan pihak kreditur. Menurutnya, ganti rugi dalam
Islam hanya dibebankan pada pihak debitur apabila pihak kreditur dirugikan oleh
pihak deditur akibat tidak melaksanakan tanggung jawab atau ingkar janji. Ganti
rugi hanya dibebankan pada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang
dialami oleh kreditur memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan ingkar
janji atau ingkar akad dengan debitur. Tanggung jawab akad memiliki tiga unsur
pokok:
- Adanya ingkar janji yang dapat dipersalahkan.
- Adanya ingkar janji itu menimbulkan kerugian bagi pihak kerditor
- Kerugian kreditor disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab-akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur.
Dalam Islam istilah tanggung jawab yang
terkait dengan konsep ganti-rugi dibedakan menjadi dua:
1.
Daman akad (daman
al’akd), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang
bersumber kepada ingkar akad.
2.
Daman udwan (daman
al’udwan), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang
bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) atau dalam
istilah hukum perdata indonesia disebut dengan perbuatan melawan hukum.
Pengertian dhaman dalam khazanah hukum Islam cukup
bervariatif, sebagaimana dijelaskan oleh Asmuni Mth. bahwa kata dhaman memiliki
makna yang cukup beragam, baik makna secara bahasa maupun makna secara istilah.
Secara bahasa dhaman diartikan sebagai ganti rugi atau tanggungan.
Sementara secara istilahi mengutup dari Asmuni Mth. adalah tanggungan seseorang untuk memenuhi hak yang
berkaitan dengan kehartabendaan, fisik, maupun perasaan seperti pencemaran nama
baik.
Jika diuraikan secara lengkap,
pengertian di atas memberikan cakupan yang cukup luas dalam hukum perikatan
Islam. Sebagaimana diuraikan oleh Asmuni Mth. dalam tulisannya bahwa definisi dhaman
akan mencakup makna-makna sebagai berikut:
a)
Obyek wajib dhaman
terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban dhaman tidak akan
gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak yang berhak menerima
ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan (mutadarrar) berhak mengadukan
mutasabbib (penyebab kerugian) ke pengadilan agar memenuhi kewajibannya.
Berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau keagamaan, syari’
hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa implikasi hukuman keduniaan karena
merupakan khitab al-targib yang meliputi makruhat dan mandubat.
Zimmah menurut bahasa adalah al-‘ahdu (perjanjian).
Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatu sifat yang menjadikan
seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima
hak atau melakukan kewajiban. Ahlu
zimmah adalah mereka yang melakukan perjanjian di mana dengan perjanjian
itu mereka memiliki hak dan kewajiban.
b)
Kewajiban atas
dasar dhaman berbeda dengan kewajiban atas dasar ‘uqubah, baik
pada karakter maupun tujuannya. Dhaman ditetapkan untuk melindungi
hak-hak individu. Sedangkan ‘uqubah ditetapkan karena adanya unsur
pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT. Kewajiban pada dhaman bertujuan
untuk mengganti atau menutupi (al-jabru) kerugian pada korban. Sementara
‘uqubah ditetapkan untuk menghukum pelaku kejahatan agar jera dan tidak
melakukan perbuatan itu lagi (al- zajru). Jadi tujuan yang berorientasi
pada al-jabru disebut dhaman. Sedangkan tujuan yang berorientasi
pada al-zajru disebut ‘uqubah.
c)
Sebab-sebab dhaman
adalah adanya unsur ta’addi, yaitu melakukan perbuatan terlarang dan
atau tidak melakukan kewajiban menurut hukum. Ta’addi dapat terjadi
karena melanggar perjanjian dalam akad yang semestinya harus dipenuhi.
Misalnya, penerima titipan barang (al-muda)’ tidak memelihara barang
sebagaimana mestinya, seorang al-ajir (buruh upahan, orang sewaan)
dangan al-musta’jir (penyewa) sama-sama tidak komitmen terhadap akad
yang mereka sepakati. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum
syariah (mukhalafatu ahkâm syari’ah) seperti pada kasus perusakan
barang( al-itlâf), perampasan (al-gasb), maupun kelalaian atau
penyia-nyiaan barang secara sengaja (al-ihmâl).
d)
Ta’addi yang
mewajibkan dhaman benar-benar menimbulkan darar (kerugian). Jika
tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada dhaman, karena secara faktual
tidak ada darar yang harus digantirugikan. Itulah sebabnya jika seorang
pengendara yang lalai menabrak barang orang lain tetapi tidak menimbulkan
kerusakan, tidak wajib memberikan dhaman. Namun demikian, terdapat suatu
perbuatan dengan sendirinya mewajibkan dhaman seperti al-gasbu
(perampasan). Menurut jumhur ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat
barang selama berada dalam penguasaannya walaupun tidak difungsikan. Pendapat
ini berdasarkan asumsi bahwa kerugian selalu terjadi pada kasus-kasus
perampasan. Kerugian atau darar juga akan dialami oleh orang-orang yang
dibatasi kebebasannya oleh penguasa atau seseorang yang ditahan secara ilegal
menurut fuqaha’ Hanabilah. Pendapat ini memperkuat kaidah bahwa al-dharar
syarthun liwujubi dhaman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan ganti
rugi).
e)
Antara ta’addi
(pelanggaran) dengan darar (kerugian) harus memiliki hubungan
kausalitas. Artinya, darar dapat dinisbatkan kepada pelaku pelanggaran
secara langsung. Jika darar dinisbatkan kepada sebab-sebab lain, bukan
perbuatan pelaku (muta’addi) sendiri, maka dhaman tidak dapat
diberlakukan, karena seseorang tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat
perbuatan orang lain. Kaidah syariah mengenai masalah ini adalah:
لا تزر وازرة وزر أخرى ؛ لا يؤاخذ أحد بجريرة غيره .
f)
Darar harus bersifat
umum sesuai dengan keumuman hadis Nabi: laa dharara wa laa dhirara (tidak
boleh merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain). Tingkat darar
diukur berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku. Hal ini sejalan dengan
kaidah ushul: yajibu hamlu al-lafzi ‘ala ma’nahu al-muhaddad fi as-syar’i in
wujida, wa illa wajaba hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan
membawa kata kepada maknanya yang definitif secara syara’ jika ditemukan,
tetapi kalau tidak ada, maka dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf).
Karena syari’ tidak menetapkan makna darar, sehingga ukurannya,
baik kualitas maupun kuantitas, mengacu pada ‘urf. Dengan demikian, darar
yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa, dan
hak-hak yang berkaitan dengan kehartabendaan jika selaras dengan ‘urf yang
berlaku di tengah masyarakat.
g)
Kualitas
dan kuantitas dhaman harus seimbang dengan darar. Hal ini sejalan
dengan filosofi dhaman, yaitu untuk mengganti dan menutupi kerugian yang
diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar menjadi jera. Kendati
demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau hanya bersifat
konvensional.
Ganti Rugi Perdata perspektif Hukum Islam
Ganti rugi perdata dalam hukum islam lebih
menitikberatkan tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan suatu akad
perikatan. Apabila salah satu pihak tidak melaksankan kewajibannya sebagaimana
yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka tentu akan menimbulkan
kerugian bagi pihak yang lain. Dalam hukum Islam tanggung jawab melaksanakan
akad disebut dengan dhaman al-’aqdi. Dhaman al-’qdi adalah bagian dari
tanggung jawab perdata. Jadi yang dimaksud ganti rugi perdata dalam hukum islam
adalah tanggung jawab perdata dalam memberikan ganti rugi yang bersumber dari
adanya ingkar akad.
Ganti
rugi Pidana dalam hukum Islam
Ganti rugi pidana dalam hukum Islam adalah
ganti rugi yang dibebankan kepada pihak debitur akibat tidak melaksanakan
perikatannya mungkin karena kesalahannya sendiri atau karena ada sebab diluar
kehendak debitur. Dalam hukum Islam ganti rugi pidana disebut dengan dhaman
al-’udwan, yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang
bersumber kepada perbuatan merugikan (al-fi’l adh-dharr) orang lain,
atau dalam istilah KUH Perdata disebut dengan perbuatan melawan hukum.
Sebab-Sebab Ganti Rugi Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
Sebab-sebab ganti rugi menurut hukum Islam:
Sebab-sebab ganti rugi dalam perspektif
hukum Islam fiqh muamalat yang berkaitan dengan hukum perikatan Islam. Ada
beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai sebab adanya ganti rugi. Menurut
Syamsul Anwar, ada dua macam sebab terjadinya ganti rugi (dhaman). Pertama,
tidak melaksanakannya akad, dan kedua, alfa dalam melaksanakan akad. Yakni
apabila akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak
dilaksanakan oleh debitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya
(ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur, baik kesalahan itu
karena kesengajaanya untuk tidakl melaksanakan akad, atau kesalahan karena
kelalaiannya. Kesalahan dalam ilmu fiqh disebut dengan at-ta’addi, yakni
suatu sikap yang bertentangan dengan hak dan kewajiban dan tidak diizinkan oleh
syarak.
Menurut Asmuni Mth dalam artikelnya
menjelaskan:
Seseorang tidak dapat dibebankan ganti rugi kecuali
memenuhi dua rukun, yaitu: al-i’tida’ dan al-darâr. Al-i’tidâ’
adalah melampaui batas yang menurut para fuqaha’ mengandung unsur kezaliman,
rasa permusuhan, dan melampaui hak. Kriterianya adalah menyimpang dari perilaku
normal. Adapun sebab-sebab dhaman ada tiga, yaitu aqad, yad,
dan itlâf. Dhaman pada aqad dapat terjadi ketika ada pihak
yang melakukan interpretasi terhadap ketentuan eksplisit dari redaksi
perjanjian atau makna implisitnya sesuai dengan keadaan dan situasi (al-‘urf
atau al-‘âdah) yang berlaku. Sedangkan wadh’u al-yad dapat
menjadi sumber ganti rugi baik itu al-yad mu’tamanah maupun bukan mu’tamanah.
Yad al-mu’tamanah seperti yad al-wâdi’ dan al-mudhârib, al-‘âmil
al-musâqi, al-ajir al-khâs, al-washi ‘ala mâl al-yatim, hakim dan al-qadhi
‘ala sunduq al-aitâm, dan lain-lain. Mereka ini jika melakukan ta’addi
(personal abuse case) atau taqshir dibebani/dikenakan ganti rugi.
Namun jika tidak ada unsur ta’addi atau taqshir tidak dapat
dibebankan ganti rugi karena mereka tergolong al-aydi al-amânah (tangan-tangan
amanah). Adapun al-yad gairu al-mu’tamanah yang melakukan sesuatu
terhadap harta orang lain tanpa izin dari pemilik seperti pencuri dan perampas,
atau dengan seizin pemilik seperti al-yad al-bâ’i’ terhadap barang yang
dijual sebelum serah terima, atau al-musytari setelah serah terima
barang, dan penyewa hewan tunggangan atau semisalnya jika melakukan ta’addi
terhadap syarat-syarat yang sudah ditentukan atau ketentuan yang sudah biasa
berlaku. Mereka ini wajib memberikan ganti rugi terhadap kerusakan barang pada
saat berada di tangannya, apapun penyebab kerusakan sekalipun terpaksa seperti
bencana alam dan lainnya. Adapun al-itlâf menjadi sebab ganti rugi baik
langsung maupun hanya sebagai penyebab. Itlâf biasanya diartikan
mendisfungsikan barang. al-Itlâf dibagi dua yaitu al-itlaf
al-mubasyir (perusakan langsung), dan al-itlaf bi al-tasabbub
(perusakan tidak langsung).
Dari kedua sumber di atas, kiranya
dapat memberikan gambaran secara ringkas mengenai sebab-sebab ganti rugi
menurut hukum Islam, walaupun lebih banyak mengutip pendapatnya Asmuni
Mth.
Sebab sebab ganti rugi menurut hukum Perdata
Dalam pasal 1248 KUH Perdata
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sebab-sebab ganti rugi adalah ganti rugi
yang merupakan akibat ’langsung’ dari wanprestasi. Dengan kata lain harus ada
hubungan sebab-akibat atau kausal-verband antara kerugian yang diderita dengan
perbuatan wanprestasi. Atau akibat langsung dari perbuatan debitur yang ingkar
melaksanakan suatu perjanjian menurut selayaknya.
Menurut Yahya Harahap, untuk menentukan
sebab-sebab ganti rugi sangat sulit, undang-undang sendiri dalam perumusannya
sering memuat secara berbarengan beberapa akibat tentang ”satu feit” yang
disebutkannya. Kesulitan yang terjadi pada hubungan sebab-akibat antara
kerugian dan wanprestasi ditimbulkan oleh masalah lingkungan hukum. Menurutnya,
kadang-kadang satu peristiwa / satu feit, pada waktu yang bersamaan sekaligus
menyentuh dua lingkungan hukum, yaitu lingkungan hukum pidana dan hukum
perdata. Dengan demikian sebab-sebab ganti rugi dalam hukum perdata hanya
didasarkan pada wanprestasi semata.